Day 128 of 366.
Seperti biasa, mungkin juga dialami anak-anak lain seperti
aku. Sosok yang paling ditakuti di dalam keluarga adalah bapak. Soal ini kalian
bisa sepakat dengan aku, bisa juga tidak. Karena memang tidak ada ketetapan
pasti perihal harus siapa yang paling ditakuti di dalam struktur organisasi
keluarga.
Sangat jarang sekali aku melakukan percakapan dengan bapak
untuk urusan apapun, apalagi yang receh-receh semacam ngobrolin apa sih bedanya
warna merah fanta sama magenta.
Untuk urusan yang lebih strategis dan taktis. Aku lebih memilih
mewakilkan suaraku ke ibu dewan parlemen, ibuku maksudnya, ketimbang
membicarakan langsung ke bapak. Kecuali, kalau mendapat surat panggilan langsung
untuk bicara, aku baru berbincang langsung dengan bapak. Ya, sejarang itu
ngobrol sama bapak.
Mungkin karena sejak kesan pertama aku dengan bapak adalah beliau
sosok yang nggak banyak bicara, terlihat kereng,
keputusannya sudah pasti final sangat mustahil bisa dinego.
Walaupun begitu, sedikit banyak, bapak memiliki andil yang
besar dalam meng-influence-ku hingga
aku ada dititik saat ini.
Bapak itu nggak mau nyama-nyamain sosoknya dengan anaknya. Karena
bapak tidak sekolah dengan baik. Tidak sekolah dengan baik itu karena
kesempatan bapak waktu itu berbeda dengan keadaan seperti aku sekarang ini.
Dulu sodaranya bapak itu banyak, zaman setelah perang, mau sekolah itu sudah. Ada
uang yang cukup buat makan aja dah seneng. Makanya dulu itu bisa sekolah adalah
sebuah idaman.
Bapak pernah bercerita begitu. Makanya begitu punya anak,
anaknya disuruh sekolah sing tenanan,
biar nggak susah kayak bapakmu, le. Bapak itu bilangnya kowe kudu iso lebih,
ketimbang orantuamu.
Aku memang nggak mau jadi bapak, jalan hidupnya itu beda
banget dengan aku. Tapi beliau adalah idola yang sukses memberikan referensi
yang bagus untuk anak-anaknya. Bapak nggak selalu memberikan contoh yang bagus
karena ya bapakku juga manusia yang tak luput dari salah. Tapi sebagai idola, beliau
seorang yang fatherhood, terus bisa memberikan referensi yang bagus bagi
anak-anaknya dan membiarkan anaknya tumbuh belajar tanpa paksaan dengan caranya
sendiri.
Bukan untuk menjadi seperti keinginannya, tapi menjadi diriku sendiri.
Bukan untuk menjadi seperti keinginannya, tapi menjadi diriku sendiri.
-SEEYOUU
When I See You (*)
Belajar Pada Bapak
Day 127 of 366.
Lengannya penuh dengan tattoo, telinganya dipersing. Jawab
jujur apa yang pertama kali dipikiran mu?
“Orang bertattoo mah
bukan orang baik-baik pasti, preman, pasti nganggur!”
Begitu?
Kalau itu yang melintas di pikiran saat ngeliat objek seperti yang
diatas, cuma mau bertanya, kenapa sih harus berburuk sangka ke orang yang tidak
sama dengan normalnya kita? Tapi kalau di pikiran yang melintas adalah hal-hal
positif soal itu, syukurlah. Berbaik sangka nggak nambah dosa.
Lama sudah aku ada di lingkungan dengan objek yang ada di awal
kalimat tulisan ini. Orang yang lengannya penuh tattoo itu tidak ada
jahat-jahatnya, tidak ada preman-premannya.
Seorang seniman super kreatif yang karyanya sudah dinikmati jutaan orang, movementnya untuk memberdayakan yang ada disekitarnya selalu jalan dan tak jarang justru didukung banyak pihak, membuka sekolah gratis untuk teman-teman yang tidak bisa ditampung minatnya oleh pendidikan pemerintah, memberikan semua ilmunya tanpa memberi lembar ijazah. Dia berkarya dan menjual karyanya bukan dari merugikan atau menyakiti orang lain.
Seorang seniman super kreatif yang karyanya sudah dinikmati jutaan orang, movementnya untuk memberdayakan yang ada disekitarnya selalu jalan dan tak jarang justru didukung banyak pihak, membuka sekolah gratis untuk teman-teman yang tidak bisa ditampung minatnya oleh pendidikan pemerintah, memberikan semua ilmunya tanpa memberi lembar ijazah. Dia berkarya dan menjual karyanya bukan dari merugikan atau menyakiti orang lain.
Malu nggak udah mikir yang aneh-aneh?
Kadang gregeten sama
secuil orang yang bisa-bisanya membenci, menghina, merendahkan, dan
berprasangka buruk ke orang lain padahal belum pernah ketemu apalagi kenal
secara langsung sama orang yang mereka benci, mereka hina, mereka rendahkan.
Untuk kamu yang dibenci sama secuil orang yang bener-bener belum kenal kamu, diemin aja orang-orang kayak gitu. Nanti kalau tau kenyataannya bahwa asumsi dia ternyata terbukti nggak benar, dia bakal malu sendiri.
Untuk kamu yang dibenci sama secuil orang yang bener-bener belum kenal kamu, diemin aja orang-orang kayak gitu. Nanti kalau tau kenyataannya bahwa asumsi dia ternyata terbukti nggak benar, dia bakal malu sendiri.
Prasangka manusia itu ada dua jenisnya. Prasangka baik a.k.a
khusnudzon dan prasangka buruk a.k.a su’udzon. Semoga kita termasuk orang-orang
yang sering khusnudzon ketimbang su’udzon kepada setiap bab.
-SEEYOUU
When I See You (*)
Prasangka
Mereka dibilang bermuka manis berjiwa sadis
Bicara sinis seakan rasis
Rasis akan ras - ras pengeruk hak orang lain
Rasis akan ras perebut paksa mimpi orang lain
Rasis akan ras – ras bengis
Orang – orang idealis..
Orang bilang cuma sok puitis, esay-ist
Pemimpi yang pengen dibilang artis
Orang – orang idealis
Bukan radikalis
Orang – orang idealis
Tidak berdiri sebagai pemenang digaris finish
Namun berdiri digaris hati nuraninya sendiri
Orang – orang idealis
Bukan impian masyarakat
Bukan pengikut opini masyarakat
Bukan pemilih iya atau tidak
Boleh atau bukan
Benar atau salah
Orang – orang idealis
Tidak meringis bak pengemis
Saat pendapatnya diiris – iris
Menjadi bagian yang separuhnya harus mengangini
Peraturan munafik
Dan separuh lainnya harus menurut pada pandangan
Masyarakat kebanyakan
Orang – orang idealis
Masih berdiri di garis finish
Dimana semua berakhir sesuai hati nuraninya
Jadi dirinya sendiri
. . .
. . .
Day 126 of 366.
Idealis
Day 125 of 366.
Scroll,
Scroll terus,
Hari minggu, hari dimana aku biasanya lebih banyak
menghabiskan waktu bersama layar kecil 5,5 inch ketimbang keluar kamar, bersosialisasi
dengan manusia lain di lingkunganku. Apalagi di masa pandemi seperti ini, yang
mengharuskan setiap kita untuk tetap stay ditempat masing-masing menghindari
berkerumun.
Ya, begitu. Bangun tidur mau sahur, nyecroll grabfood. Pas
makan sahur nyecroll medsos. Selesai sahur nyecroll medsos. Ba’da subuh,
nyecroll lagi. Nyecroll terus sampai hari mulai terang.
Sehari sebelum minggu, emang menjadwalkan untuk memulai hari
minggu dengan sedikit bermalas. Eh, kejadian kan nyecroll-nyecrollnya keterusan.
Mana kalau udah kayak gitu kadang jadwal kegiatan selanjutnya tuh bisa kegeser,
jadi molor, sampai-sampai bisa ketunda. Pernah? Sering!
Hari ini baru denger LevelUp nya bang Bena. Dan ternyata
kelakuan auto scrolling itu bisa di brain hack.
Salah satunya solusi untuk berhenti dari hal tersebut adalah
Mindfullness. Aku harus segera sadar alias ‘Menyadarkan diri sendiri’ bahwa aku
itu sedang nyecroll medsos. Kemudian menanyakan pada diri sendiri…
Apa yang sedang dilakukan?
Sudahkah menemukan apa yang dicari?
Kalau sudah, ayo sadar! Dengan kesadaran dan kebiasaan untuk
sadar ini jadi bisa ngerti kapan berhenti, kapan harus menyudahi, agar tidak
terhanyut berlarut-larut ke dalam mode auto scrolling.
Yok bisa yok!
-SEEYOUU
When I See You (*)
Nyecroll
Day 124 of 366.
Siang ini pukul 13:46 ada panggilan tak terjawab di gawaiku. Kebiasaanku
ngecek jam di gawai membuat aku mengetahuinya. Ya, kalau sedang tidur sangat
mustahil dering panggilan masuk akan terdengar oleh telinga ku.
Dengan setengah sadar, aku bergegas, langsung mencoba
menghubungi balik panggilan tak terjawab tersebut.
“Halo, baru bangun?”
Tebaknya, seolah mengerti betul akan kebiasaan ini.
“Itu matanya masih merem, melek dulu”
Kok bisa tau kalau mataku masih kriyip-kriyip ya, apa dia sedang memantauku? Atau tiap sudut kamar
ini sudah dipasang cctv olehnya? Wah mengkhawatirkan.
“Mau buka pakai apa nanti?...”
“…nggak usah ragu, minta aja!”
Nggak susah sih kalau urusan menu makanan. Dimasakin apa aja
ya itu yang dimakan. Nggak banyak mau dan impian makan yang aneh-aneh. Sudah kebiasaan
dari di rumah begitu.
Kalau impian yang terlalu tinggi ada nggak dalam hidup ini? Sepertinya
tidak ada impian yang terlalu tinggi, mungkin adanya effort dan kepercayaan
serta lompatan yang masih rendah untuk sampai ke yang disebut impian itu.
Ketika mau menggapai impian dalam hal karir, bisnis,
hubungan atau apapun bentuknya dalam hati pasti ada besitan ‘ah masak iya bisa?’ atau ‘terus gimana, bingung ah’ atau malah ‘mungkin nggak ya’.
Mulai melompat aja sih. Titik.
Kalau masih ragu dengan melompat, mungkin lupa melibatkan Dia.
“Ntar selesai masak aku kesana ya, nganterin ini buat kamu”,
lanjutnya dalam obrolan setengah sadarku.
-SEEYOUU
When I See You (*)
Panggilan Tak Terjawab
Day 123 of 366.
Kita tidak pernah sama lagi. Kala bangun pagi bergegas ke
kamar mandi lalu beberes dan tergesa-gesa. Karena jam sudah menunjuk pukul 07:18,
belum lagi ditambahi pikiran ‘duh jalanannya macet parah nggak ya hari ini’.
Pukul 8:00 dispensasi 15 menit sudah harus mendengar mbak-mbak
bernada aneh bilang ‘Terimakasih’ dari mesin absensi jika tidak mau sepanjang
hari tersebut dihantui ketidak tenangan.
Kita tidak pernah sama lagi, ya
Sudah lima minggu lebih aku di kamar kost aja karena kantor memberlakukan Working From Home atau wfh. Mulanya cuma sampai dua minggu saja, tapi kemudian diperpanjang dua minggu lagi alias sampai pertengahan April kemarin, dan diperpanjang lagi sampai belum tau sampai kapan.
Sudah lima minggu lebih aku di kamar kost aja karena kantor memberlakukan Working From Home atau wfh. Mulanya cuma sampai dua minggu saja, tapi kemudian diperpanjang dua minggu lagi alias sampai pertengahan April kemarin, dan diperpanjang lagi sampai belum tau sampai kapan.
Sebagian besar orang berdiam di rumah. Bekerja dari rumah,
belajar dari rumah, beribadah di rumah selama berminggu-minggu, berbulan-bulan,
bahkan sampai hari ini dan dipaksa beradaptasi dengan hal baru itu.
Perubahan kebiasaan sehari-hari itu disertai juga rasa kewas-wasan. Gimana tidak was-was, wong tiap hari seperti dibercandain sama
hidup. Kadang dapat berita baik, kadang dapat berita buruk. Tidak sedikit kabar
miring, negatif, menakuti dikoarkan media menstrim
sehingga jadi kabar lurus yang (seolah)normal. Tidak banyak juga kabar baik, positif, menenangkan di gerilyakan
media undergron.
Hari ini bisa tenang, eh besoknya dibikin gundah lagi.
Siang tadi aku ketiduran bangun-bangun bingung sekarang jam
berapa, ya. Mau minum air takut belum waktunya jam buka, ngecek handphone ternyata mati kehabisan
baterai, dengan sedikit sadar kuputuskan merem lagi.
Sadar atau tidak, pandemi ini telah mengubah cara berpikir dan
berprilaku individu. Perlahan tapi pasti pandemi membentuk Normal(yang)Baru.
-SEEYOUU
When I See You (*)
Normal(yang)Baru
Langganan:
Postingan
(
Atom
)