Jumat Agung



Tertidur di kelas difoto temen @faizbnwpic

Saat tulisan ini diketik semua masyarakat sedang berada dalam karantina mandiri karena berlakunya psbb akibat pandemi covid-19 yang melanda seluruh dunia.

Hari ini jumat, bertepatan dengan hari libur Jumat Agung. Aku seharian tidak bisa beranjak lepas dari tempat tidur. Sesekali tersadar tapi pengen merem terus terusan, bukan tanpa alasan.

Aku orang yang pendiam, itu yang aku rasa. Sebagian besar orang-orang di lingkungan ku sepakat begitu juga. Kata orang-orang enak kalau jadi orang yang pendiam sepertiku. Banyak hal yang bisa dipikirin dan dirasakan tanpa ada konflik dengan yang lain.

Ya, hal yang biasa bagiku sampe 10 tahun mungkin, tapi semakin kesini kerasa juga, capek.

Hhmm, emang aku nggak terbiasa terbuka dan cerita kepada orang lain. Juga dengan orangtua sendiri. Setiap masalah ya akan menjadi masalahku sendiri, bisa jadi aku selesein atau kabur menjauh dari hal itu. Hari-hari seperti itu rasanya selalu panjang, rasanya selalu tenggelam disaat orang-orang lain hanya ngeliat biasa aja. Seakan baik-baik aja.

Terkadang aku nggak bisa beranjak dari kasur tanpa ada pemantik yang membawaku kuat untuk berdiri dan keluar beranjak dari tempat tidur. Di hari tersebut itu rasanya sudah nggak ada artinya, yang dipikirkan cuma pengen sudah. Mati.

Dan menjalani hari cuma dengan pikiran “yang penting hari ini terlalui”. Udah gitu aja.

Rasa sesak yang sudah berlarut-larut dirasain lama-lama menjadi biasa. Mentoleransi rasa resah cuma agar terlihat normal di hadapan orang lain. Dipaksa dan diharap selalu ‘baik-baik saja’ oleh semuanya. Di saat sebenarnya sedang teriak-teriak di dalam kepala dan pengen gebuk-gebukin muka sendiri, jambakin rambut, dan nangis-nangis sendiri.


YA TUHAN, CAPEK BANGET!


Kalau melihat ke belakang dan melihat atas semua hal yang aku lakuin agar terlihat ‘normal’. Aku akan mengaku, aku sakit hati. Nutup-nutupin banyak hal dan seolah sedang tidak ada apa-apa.

Umb, akhir tahun lalu akhirnya aku mencapai titik dimana aku memberanikan bercerita ke orangtuku dan mencoba seada-adanya.

Aku bercerita, di hadapanku bapak dan di samping kananku ibu. Di tengah bercerita suaraku mengecil dengan sendirinya, aku nggak mampu untuk mengeluarkannya lebih keras lagi, sampai bapak harus mendekatkan telinganya tepat di dekat bibirku agar bisa mendengar lanjutan ceritaku.

Disitu ibu mendekapku, memeluk dan dia bilang,
“Pancen gung wayahmu, le. Sok lek wes wayahmu yo teko”




-SEEYOUU
When I See You

4 komentar

4 komentar :

Dipersilakan kotori kolom komentarnya.
Terserah mau komen apa, tapi harus sopan ya!