Jumat Agung
Saat tulisan
ini diketik semua masyarakat sedang berada dalam karantina mandiri karena
berlakunya psbb akibat pandemi covid-19 yang melanda seluruh dunia.
Hari ini jumat, bertepatan dengan
hari libur Jumat Agung. Aku seharian tidak bisa beranjak lepas dari tempat
tidur. Sesekali tersadar tapi pengen merem terus terusan, bukan tanpa alasan.
Aku orang
yang pendiam, itu yang aku rasa. Sebagian besar orang-orang di lingkungan ku
sepakat begitu juga. Kata orang-orang enak kalau jadi orang yang pendiam
sepertiku. Banyak hal yang bisa dipikirin dan dirasakan tanpa ada konflik
dengan yang lain.
Ya, hal yang biasa bagiku sampe
10 tahun mungkin, tapi semakin kesini kerasa juga, capek.
Hhmm,
emang aku nggak terbiasa terbuka dan cerita kepada orang lain. Juga dengan
orangtua sendiri. Setiap masalah ya akan menjadi masalahku sendiri, bisa jadi
aku selesein atau kabur menjauh dari hal itu. Hari-hari seperti itu rasanya
selalu panjang, rasanya selalu tenggelam disaat orang-orang lain hanya ngeliat
biasa aja. Seakan baik-baik aja.
Terkadang
aku nggak bisa beranjak dari kasur tanpa ada pemantik yang membawaku kuat untuk
berdiri dan keluar beranjak dari tempat tidur. Di hari tersebut itu rasanya sudah
nggak ada artinya, yang dipikirkan cuma pengen sudah. Mati.
Dan menjalani
hari cuma dengan pikiran “yang penting hari ini terlalui”. Udah gitu aja.
Rasa sesak
yang sudah berlarut-larut dirasain lama-lama menjadi biasa. Mentoleransi rasa
resah cuma agar terlihat normal di hadapan orang lain. Dipaksa dan diharap
selalu ‘baik-baik saja’ oleh semuanya. Di saat sebenarnya sedang teriak-teriak
di dalam kepala dan pengen gebuk-gebukin muka sendiri, jambakin rambut, dan
nangis-nangis sendiri.
YA TUHAN,
CAPEK BANGET!
Kalau
melihat ke belakang dan melihat atas semua hal yang aku lakuin agar terlihat ‘normal’.
Aku akan mengaku, aku sakit hati. Nutup-nutupin banyak hal dan seolah sedang
tidak ada apa-apa.
Umb,
akhir tahun lalu akhirnya aku mencapai titik dimana aku memberanikan bercerita
ke orangtuku dan mencoba seada-adanya.
Aku bercerita,
di hadapanku bapak dan di samping kananku ibu. Di tengah bercerita suaraku
mengecil dengan sendirinya, aku nggak mampu untuk mengeluarkannya lebih keras
lagi, sampai bapak harus mendekatkan telinganya tepat di dekat bibirku agar
bisa mendengar lanjutan ceritaku.
Disitu ibu
mendekapku, memeluk dan dia bilang,
“Pancen gung
wayahmu, le. Sok lek wes wayahmu yo teko”
…
-SEEYOUU
When I
See You
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Semangat terus cuuy!
BalasHapusTerimakasih suhuu...
HapusSemangat oyy :))
BalasHapusThankyuuu ya :)
Hapus